Sabtu, 28 Januari 2012

Minggu, 21 Maret 2010

Program Indonesia Sebagai Kolam Susu

Program Indonesia Sebagai Kolam Susu 

Susu merupakan salah satu bahan makanan yang kaya akan protein dan sangat dibutuhkan balita untuk masa tumbuh kembang. Namun saat ini semua barang kebutuhan primer masyarakat mengalami perubahan harga yang sangat melonjak. ”BBM naik tinggi, susu tak terbeli ....anak balita kekurangan gizi....”.
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengkolam-susukan Indonesia pada tahun 2015.

Kalau ditanya, apa saja kerjaan dokter hewan Indonesia? Pasti ratusan bahkan ribuan jawaban yang akan terlontar. Tetapi jika dibeberkan fakta bahwa:

a. Tahun 2005, menunjukkan produksi 550.000 ton susu sapi segar atau 30% dari kebutuhan bahan baku yang dipasok dari peternakan rakyat, dari total kebutuhan
nasional yang mencapai 1,850 juta ton. Berarti 1,300 juta ton kebutuhan bahan baku susu segar masih harus diimpor.(*)
b. Rendahnya produksi susu disebabkan pertumbuhan populasi sapi perah di Indonesia yang cenderung stagnan. Saat ini ada sekitar 330.000 ekor sapi perah Indonesia. Kurangnya upaya pembibitan sapi perah dengan seleksi bibit yang bagus sehingga populasi naik turun. Untuk memenuhi kebutuhan produksi susu segar, kebijakan untuk
membeli sapi dari luar negeri pun dilakukan. (*)
 
c. Meskipun pasokan susu segar dalam negeri jumlahnya masih rendah, harga susu
segar ditingkat peternak ternyata merupakan termurah di dunia, yaitu hanya Rp. 2.200/liter (22 sen USD). Bila dibandingkan dengan harga pasaran di luar negeri, susu segar sejenis di US sudah mencapai 34 sen USD atau Rp. 3.400/liter, dan yang termurah di Selandia Baru 28 sen USD/liter.(*)
 
d. Rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia untuk mengkonsumsi susu sebagai bagian dari sumber gizi. Terbukti Indonesia merupakan sebuah negara yang tingkat konsumsi gizi terendah di dunia, kedua di Asia, yaitu yang hanya mengkonsumsi gizi 5,2 gram per kapita/hari. (*) 
Banyak sekali kendala sehingga Indonesia kekeringan akan sumber gizi dari susu. Hal yang dihadapi oleh peternak sapi perah antara lain:
1. Kualitas bibit yang masih rendah karena banyak bibit yang sudah tua sehingga perlu
adanya peremajaan bibit sapi perah.
 
2. Kualitas pakan yang masih rendah dan belum optimalnya penggunaan pakan lokal.
3. Penerapan teknologi yang belum merata di semua pihak. 
4. Susu segar merupakan bahan makanan yang mudah rusak, sehingga perlu penanganan yang cepat dan tepat.  
5. Kurangnya industri pengolah susu yang siap menampung susu dari peternak.
6. Harga pakan (konsentrat) yang masih cukup tinggi. 
7. Kurangnya pabrik pakan jadi (konsentrat) yang dapat menjamin ketersediaan pakan jadi secara kontinyu dan murah. 
Tetapi bagaimanapun juga, upaya untuk mencapai Indonesia swasembada sumber susu dari peternak sapi perah harus segera dimulai dari sekarang.
Cara yang paling mendasar untuk memulainya yaitu meningkatkan populasi sapi perah dengan segala teknologi yang sangat modern, melakukan pembibitan ternak sapi perah dengan seleksi bibit yang bagus, dan meningkatkan produktivitas ternak melalui perbaikan manajemen pengelolaan.

Sepertinya tugas dan tanggung jawab dokter hewan akan semakin bertambah. Jangan-jangan dunia veteriner tidak akan sempat istirahat karena kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengkolam-susukan Indonesia pada tahun 2015.
Sanggupkah kita melipat-gandakan populasi sapi perah menjadi minimal 900.000 ekor agar Indonesia hanya mengimpor bahan baku susu 50% atau bahkan kurang dari kebutuhan nasional. Dan juga meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia untuk gemar minum susu, setidaknya konsumsi masyarakat Indonesia meningkat, dari yang sebelumya hanya mengkonsusi 8 liter/kapita/tahun menjadi 30 liter/kapita/tahun seperti masyarakat di negara tetangga kita di Malaysia dan Thailand. 

Sumber : Koranpdhi.com

Rabu, 17 Maret 2010

Sejarah Pemasaran Susu

SEJARAH PEMASARAN SUSU

Sunday, February 21, 2010
By Rochadi Tawaf
 
Usaha peternakan sapi perah di Indonesia, pada awalnya hanya berupa usaha rumah tangga, banyak diantaranya merupakan penerusan kerja dari ara pekerja di perusahaan sapi perah milik Belanda.
  • Pada tahun 1949, berdiri koperasi susu pertama di Indonesia, yaitu Gabungan Petani Peternak Sapi Perah Pengalengan (GAPPSIP) yang diprakarsai oleh drh. Soejono dan drh Y. Hutabarat.
  • Tahun 1962, berdiri koperasi peternak bernama SAE Pujon di Malang yang digerakkan oleh drh Memet Adinata.
  • Tahun 1963GAPPSIP terpaksa tutup karena buruknya situasi sosial ekonomi dan politik saat itu.
  • Baru pada tahun 1969, di tempat yang sama kembali berdiri koperasi susu dengan nama Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS). Lagi, pendirian koperasi ini juga diprakarsai oleh seorang dokter hewan, yaitu drh Daman Danuwijaya.
  • Sampai dengan tahun 1978, di Propinsi Jawa Timur terdapat beberapa koperasi susu selain SAE Pujon, yaitu KUD Batu, Koperasi Setia Kawan di Nongkojajar dan Koperasi Suka Makmur di Grati.
 
Namun demikian, produksi susu nasional antara tahun 1969-1978 berkembang dengan sangat lambat, dari total 28.900 ton hanya naik menjadi 62.300 ton (Bagdja, 2005; Sunaryo,2004). Perjalanan koperasi persusuan di Indonesia jatuh dan bangun dihantam berbagai permasalahan, khususnya terkait dengan masalah pemasaran susu kepada industri pengolah susu (IPS).
Koperasi susu memiliki posisi rebut tawar yang sangat lemah berhadapan dengan IPS, baik dalam menentukan jumlah penjualan susu, waktu penjualan serta harga yang diperoleh. Masalah ini muncul dikarenakan IPS menggunakan susu impor sebagai bahan baku dan tidak mau menyerap susu domestik. Peternak yang telah berhasil diarahkan untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri menjadi kecewa karena banyak susu yang rusak dan harus dibuang.
Titik balik perkembangan koperasi susu di Indonesia dimulai pada tahun 1978, berkat peranan dari Bustanul Arifin yang ditugaskan melihat koperasi persususan di India, sehingga terbentuk Badan Koordinasi Koperasi Susu Indonesia (BKKSI) yang merupakan cikal bakal GKSI yang dibentuk setahun berikutnya.
 
Dengan kelembagaan koperasi persusuan di level nasional, komunikasi antara gerakan koperasi persusuan dengan pemerintah berjalan lebih baik sehingga memungkinkan berperannya subsistem penunjang agribisnis susu di Indonesia. Beberapa permasalahan yang dihadapi koperasi susu sedikit demi sedikit dapat diatasi dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan pemerintah, seperti halnya penetapan kuota impor susu oleh IPS, pengawasan pemerintah terhadap harga susu, penyediaan pakan ternak serta impor sapi perah berkualitas.
Baiknya komunikasi GKSI dengan pemerintah ini dipertegas dengan terbentuknya Tim Koordinasi Persusuan Nasional (TKPN) yang melibatkan tujuh instansi pemerintah. TKPN bertugas memantau perkembangan produksi dan konsumsi susu di Indonesia Direktur Jenderal Peternakan yang saat itu dipegang oleh orang gerakan koperasi (Daman Danuwidjaja) secara Ex-officio ditunjuk menjadi ketua TKPN. Posisi ini semakin memungkinkan gerakan koperasi dalam melakukan terobosan yang bersifat lintas sektoral dalam pengembangan agribisnis susu nasional berbasis koperasi.
 
Kebijakan BUSEP (bukti serap) yang mewajibkan IPS untuk menyerap susu dari koperasi. Dengan kebijakan ini ratio penyerapan susu domestik dapat diperjuangkan menjadi 1:3,5 (19 % serapan susu DN) pada tahun 1984 dari perbandingan 1:20 (< 5% serapan susu DN) pada tahun 1979.
Dengan pendekatan yang baik terhadap IPS, harga susu di tingkat peternak dinaikan menyesuaikan tingkat kebutuhan biaya hidup peternak saat itu. Sampai th 2007, kontribusi susu DN hanya mencapai 25 % dengan produksi susu sekitar 1,2 juta liter per hari (USDA – FAS, 2007), terutama setelah dicabutnya konsep BUSEP pada th 2000 awal. Itu berarti sejak kenaikkan cepat pada periode 1979-1984, maka kondisi sekarang dapat dikatakan stagnan terus menerus.
Globalisasi yang tidak diiringi kebijakan yang tepat semakin menekan pertumbuhan industry susu rakyat. Salah satu kebijakan tak berfihak pemerintah adalah ditetapkannya tariff cukai rendah untuk produk olahan susu seperti susu fermentasi yoghurt, sampai 0 % lebih rendah dari tariff cukai masuk susu bubuk sebagai bahan baku indutri persusuan sebesar 5 %. Tarif 5 % ini sendiri dinilai tidak sesuai kesempatan yang diberikan oleh WTO (table   ) 210%, sehingga industry olahan susu tidak bergairah untuk berkembang menjadi lokomotif kemajuan peningkatan produksi susu nasional


Sumber : Dunia sapi

Efek Lalat Pada Sapi

Efek Lalat Pada Sapi

Friday, December 11, 2009
By Abrianto Wahyu Wibisono
efek lalat pada sapi 
Lalat adalah serangga yang termasuk dalam ordo diphtera, dengan sepasang sayap berbentuk membran. Lalat merupakan salah satu species yang berperan dalam masalah kesehatan baik hewan ataupun manusia. Pada manusia, lalat menyebabkan penularan penyakit saluran pencernaan seperti: kolera, typhus, disentri, dan lain lain.
Pada hewan ternak seperti sapi, ternyata lalat juga  merugikan. Jika ada sapi yang terluka, lalat akan segera hinggap dan menginfestasi  larva kedalam luka tersebut. Akibatnya, sapi akan terserang penyakit Myasis. Selama periode tertentu,larva yang telah diinfestasi oleh lalat tersebut akan memakan jaringan hidup atau mati dari daging, bahan-bahan cairan tubuh atau makanan yang ditelan. Akibatnya, sapi akan menampakkan gejala-gejala sbb :
  1. Lesu.
  2. Nafsu makan kurang.
  3. Bobot badan menurun cepat.
  4. Selalu gelisah.
lalat pada kaki sapi 
Jika tidak segera ditangani, maka peternak sapi akan  mengalami kerugian sebagai  akibat myasis ini yaitu :
  • Terjadi malnutrisi.
  • Produksi susu dan daging turun.
  • Kematian.
Di seluruh dunia, jumlah species lalat  cukup banyak, yaitu antara 60.000 – 100.000 spesies lalat, tetapi tidak semua berbahaya bagi kesehatan ternak dan manusia. Hampir semua bagian tubuh lalat dapat menularkan penyakit, seperti : bulu badan, bulu pada anggota gerak, muntahan serta faecesnya.
Siklus hidup lalat
siklus hidup lalat di kandang sapi 
Pada umumnya siklus hidup lalat melalui 4 stadium yaitu : telur -> larva ->pupa->lalat dewasa. Pada beberapa jenis lalat, telur-telur tetap dalam tubuh lalat dewasa sampai menetap dan baru kemudian dilahirkan larva. Lamanya siklus hidup dan kebiasaan tempat bertelur bisa berbeda antara berbagai jenis lalat. Demikian pula terdapat perbedaan-perbedaan dalam hal suhu dan tempat hidup yang biasanya untuk masing-masing jenis lalat.
Jenis-jenis lalat
  • lalat rumah Musca Domestica di peternakan sapiLalat rumah (Musca domestica). Ini jenis lalat yang paling banyak terdapat diantara jenis-jenis lalat rumah. Lalat ini paling sering menyebabkan berbagai penyakit. Lalat rumah sangat menyukai tempat sampah, kotoran kuda, kotoran babi, kotoran burung dan kotoran manusia karena lembab, hangat dan mengandung banyak makanan untuk larva-larva-nya. Daya jelajah Lalat rumah bisa mencapai jarak 15 km dalam waktu 24 jam. Sebagian terbesar tetap berada dalam jarak 1,5 km di sekitar tempat pembiakannya, tetapi beberapa bisa sampai sejauh 50 km.
  • lalat jenis fannia di peternakan sapiLalat rumah kecil (jenis Fannia). Lalat  ini menyerupai lalat rumah biasa, tetapi memiliki ukuran tubuh lebih kecil dan mempunyai kebiasaan untuk menggigit. Mereka membiak di kotoran manusia dan hewan danjuga dibagian-bagian tumbuhan yang membusuk, misalnya di tumpukan rumput yang membusuk. Jenis lalat ini tidak berperan dalam penularan penyakit pada manusia tetapi dapat memindahkan penyakit-penyakit pada hewan.
  • efek lalat green-bottle-fly-pada sapiBottle flies dan Blow flies. Jenis meletakkan telur-telur mereka pada daging, contohnya adalah : Black blowfly (jenis Phormia), Green dan bonze bottle flies (jenis phaenicia dsb), Blue bottle flies (jenis Cynomyopsis dan Calliphora). Jenis ini membiak pada tubuh hewan yang membusuk atau bertelur ditumbuhan-tumbuhan jika  tidak ada daging hewan. Larva dari lalat jenis ini menyebabkan myasis pada binatang dan manusia.
.
  • lalat sapi sarcophagaLalat daging (Genus Sarcophaga). Lalat ini termasuk dalam genus Sarcophaga, artinya pemakan daging. Berukuran cukup besar dan terdapat bintik pada ujung badan mereka. Larva lalat ini hidup dalam daging, tetapi juga berkembang biak pembiakan pada kotoran hewan. Jenis ini juga menyebabkan myiasis pada manusia.
Melihat efek yang ditimbulkan, lalat memang merugikan, oleh sebab itu lalat memang harus dilenyapkan dari lingkungan sekitar kita. Ada banyak cara untuk membasmi lalat yaitu :
  • Menghilangkan tempat-tempat pembiakan lalat, dengan cara menjaga kebersihan serta menutup tempat pembuangan sampah agar tidak menjadi tempat perkembangbiakan lalat.
  • Melindungi makanan terhadap kontaminasi oleh lalat
  • Membasmi larva lalat, dengan cara selalu membersihkan kandang hewan ternak.
  • Membasmi lalat dewasa dengan cara melakukan penyemprotan insektisida atau menyebarkan obat pembasmi lalat.
Sumber ; Dunia Sapi

Sapi Perah Fries Holland

Sapi Perah Fries Holland

Sunday, March 14, 2010
By Rochadi Tawaf
 
Secara umum, sapi perah merupakan penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya. Salah satu bangsa sapi perah yang terkenal adalah Sapi perah Fries Holland (FH). Sapi ini berasal dari Eropa, yaitu Belanda (Nederland), tepatnya di Provinsi Holland Utara dan Friesian Barat, sehingga sapi bangsa ini memiliki nama resmi Fries Holland dan sering disebut Holstein atau Friesian saja (Foley, dkk., 1973; Williamson dan Payne. 1993).
Sapi FH mempunyai karakteristik yang berbeda dengan jenis sapi lainnya yaitu :
  • Bulunya berwarna  hitam dengan bercak  putih.
  • Bulu ujung ekor berwarna putih.
  • Bulu bagian bawah dari carpus (bagian kaki) berwarna putih atau hitam dari atas turun ke bawah.
  • Mempunyai ambing yang kuat dan besar.
  • Kepala panjang dan sempit dengan tanduk pendek dan menjurus ke depan.
  • Pada jenis Brown Holstein, bulunya berwarna cokelat atau merah dengan putih (Foley dkk., 1973; Ensminger, 1980; dan Makin dkk., 1980).
Sapi FH merupakan jenis sapi perah dengan kemampuan produksi susu tertinggi dengan kadar lemak lebih rendah dibandingkan bangsa sapi perah lainya. Produksi susu sapi perah FH di negara asalnya mencapai 6000-8000 kg//ekor/laktasi, di Inggris sekitar 35% dari total populasi sapi perah dapat mencapai 8069 kg/ekor/laktasi  (Arbel dkk.,  2001).
Bagaimana dengan sapi FH yang berada di Indonesia ?. Sapi perah FH masuk ke Indonesia dibawa oleh Hindia Belanda pada tahun 1891-1893 dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas sapi perah lokal. Sapi perah FH murni telah ada di Jawa Barat sejak tahun 1900, tepatnya di daerah Cisarua dan Lembang. Dari kedua daerah inilah sapi perah FH kemudian menyebar ke beberapa daerah di Jawa Barat (Makin dkk., 1980).
 
Sayangnya, produksi susu yang dihasilkan oleh sapi perah FH di Indonesia ternyata lebih rendah, berkisar antara 3000-4000 liter per laktasi.  Produksi rata-rata sapi perah di Indonesia hanya mencapai 10,7 liter per ekor per hari (3.264 liter per laktasi) (Chalid, 2006).
Susu, adalah hasil akhir dari rangkaian proses fisiologis yang kompleks dan berulang sehingga terjadi banyak macam interaksi yang berperan dalam menentukan produksi susu. Interaksi yang mempengaruhi produksi susu di antaranya hereditas dan lingkungan.
Faktor lingkungan memegang peranan penting terhadap proses fisiologis dalam tubuh ternak sehingga pada gilirannya akan mempengaruhi kapasitas produksi susu (Sudono, 1990). Menurut penelitian Williamson dan Payne, 1993, pada daerah tropis produksi yang dihasilkan bergantung pada :
  1. Teknis pemeliharaan.
  2. Kualitas pakan.
  3. Ketinggian tempat sapi tersebut dipelihara (iklim).
Teknis pemeliharaan : menjadi penting karena pada sapi FH kapasitas produksi akan selalu mengalami peningkatan dari laktasi pertama ke laktasi selanjutnya, dan meningkat terus sampai umur 6–8 tahun. Setelah periode ini, produksinya akan menurun secara perlahan sampai usia tua. Pada sapi perah FH, umumnya puncak produksi susu dicapai pada laktasi keempat, yaitu pada saat sapi berumur 6–7 tahun (Larkin dan Barret, 1994). Di daerah tropis, puncak produksi susu dicapai pada laktasi ketiga atau keempat. Rincian kapasitas produksi pada laktasi pertama, kedua, ketiga, dan keempat secara berurutan adalah 70, 80, 90, dan 95% dari puncak laktasi umur dewasa. Hal tersebut dapat dicapai dengan cara mengatur selang waktu beranak rata-rata 12 bulan serta sapi beranak untuk pertama kalinya pada umur 2 tahun.
Kualitas pakan : berpengaruh paling besar pada produksi susu (Diwyanto dkk.,  2007).  Jumlah pemberian pakan hijauan dan konsentrat dapat mempengaruhi jumlah produksi susu dan kadar lemak. Kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan atau memenuhi hidup pokok, produksi susu, pertumbuhan, dan kebuntingan sehingga akan dicapai produksi susu yang optimal.
Faktor iklim : apabila lingkungan fisik dan iklim suatu daerah sesuai dengan habitat asalnya dan sapi diberi pakan berkualitas , maka sapi tersebut akan menampilkan semua sifat yang dimiliki secara maksimal. Suhu lingkungan yang tinggi akan menurunkan nafsu makan dan mengurangi konsumsi pakan seekor sapi perah sehingga menghambat produksi susu sapi tersebut (Sutardi, 1981).
Hasil penelitian menyatakan sapi perah yang berasal dari daerah iklim sedang berproduksi maksimal pada suhu lingkungan antara 1,1-15,5ºC tapi masih dapat berproduksi dengan baik pada kisaran 5-21ºC (Brody, 1945; Hafez, 1968).  Apabila suhu melebihi 21ºC, sapi perah asal daerah sedang akan mengalami kesulitan adaptasi dan akan menunjukkan gejala penurunan produksi susu. Jika sapi tersebut diternakkan di daerah tropis dengan suhu lingkungan rata-rata di atas 23ºC, maka produksi susu yang dicapai tidak sebanyak produksi susu di daerah asalnya (Williamson dan  Payne, 1978).
Faktor iklim ini masih dapat diatasi dan tidak banyak berpengaruh apabila sapi perah tersebut diberi pakan yang berkualitas tinggi sehingga dapat berproduksi sesuai dengan kemampuannya (Sudono, 1985).

Sumber : Dunia sapi

Selasa, 16 Maret 2010

Peluang 5 Juta liter Susu Segar/hari, Tantangan Bisnis Sapi Perah Domestik

DENGAN PRODUKSI SUSU SEGAR LOKAL yang hanya 20-30 persen dari total kebutuhan susu nasional, Indonesia masih harus mengimpor bahan baku susu 4 juta-5 juta liter setara susu segar per hari. Bila rata-rata produksi susu dalam negeri 10 liter per ekor, berarti setidaknya butuh 400.000- 500.000 ekor lagi sapi perah yang laktasi (menyusui) untuk memenuhi kekurangan produksi. Nilai ekonomi yang bisa digerakkan dari usaha sapi perah itu amat besar.Dengan tambahan produksi susu segar sebanyak itu, akan ada tambahan omzet dari penjualan susu Rp 12 miliar-Rp 15 miliar per hari atau rata-rata Rp 4,28 triliun-Rp 5,48 triliun per tahun. Hitungan ini dengan asumsi harga Rp 3.000 per liter.

Berputarnya uang sebesar itu di pedesaan tentu akan mampu membangkitkan ekonomi pedesaan, bahkan menjalar ke kota. Makin besar lagi perputaran uangnya jika susu segar tersebut diolah oleh industri pengolahan susu di desa-desa sehingga menghasilkan nilai tambah yang bisa lima kali lipat lebih besarnya.

Ambil contoh seorang peternak sapi perah dengan 12 sapi perah yang dimilikinya: tujuh ekor induk dan lima ekor laktasi. Maka, produksi susu peternak tersebut adalah 72 liter per hari. Dengan harga susu Rp 3.000 per liter, berarti pendapatan kotor hariannya mencapai Rp 216.000 atau Rp 6,48 juta per bulan. Pendapatan itu masih dipotong untuk pembelian konsentrat dan singkong sebesar Rp 88.000 per hari. Belum lagi untuk pembelian rumput saat musim kemarau Rp 5.000 per ikat. Jadi, pendapatan bersih per bulannya sekitar Rp 4 juta. Selain dari susu, juga keuntungan tambahan lain seperti mereka tak perlu lagi membeli pupuk untuk tanaman pertaniannya. Tak perlu membeli minyak tanah atau gas untuk memasak karena bisa memanfaatkan energi biogas.

Wah...ternyata oke banget ya,jadi peternak sapi perah. Lalu, apa sebenarnya kendala dan tantangan pengembangan bisnis sapi perah di Indonesia, dan bagaimana pendapat temen2 untuk solusi masalah ini ?

Untuk saran, komentar, usul dan urun rembug perihal topik diskusi ini, silakan klik di tautan berikut ini:
http://www.facebook.com/topic.php?uid=151960390965&topic=23281

Kamis, 21 Januari 2010

WASPADA PENYAKIT CACING !

WASPADA PENYAKIT CACING!
Sumber.
http://infovet.blogspot.com/2007/10/ketika-ternak-jangan-diserang-cacing.html

Lingkungan dan Pola Hidup Cacing:

Siklus hidup cacing adalah cacing ditularkan pada waktu ternak memakan rumput atau meminum air yang terkontaminasi atau tercemar oleh ternak lain dengan telur cacing. Bisa juga cacing disebarkan dari induk ke anaknya. Cacing hidup di usus ternak dan memproduksi banyak telur. Masalah ini biasa terjadi pada musim hujan. Cacing memang memerlukan kondisi lingkungan yang basah, artinya cacing tersebut bisa tumbuh dan berkembang biak dengan baik bila tempat hidupnya berada pada kondisi yang basah atau lembab. Pada kondisi lingkungan yang basah atau lembab, perlu juga diwaspadai kehadiran siput air tawar yang menjadi inang perantara cacing sebelum masuk ke tubuh ternak. Lalu peternak yang bagaimana yang perlu mendapat perhatian lebih terkait jenis entoparasit dari golongan cacing ini?

Adalah Drh Rondang Nayati MM Kepala Sub Dinas Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Provinsi Riau menyatakan, ternak ruminansia lebih rentan terpapar cacing bila dibanding dengan jenis ternak lainnya. Ternak dimaksud seperti sapi, kerbau, kambing dan domba. Namun, untuk jenis ternak lainnya, kasus cacingan tetap bisa dijumpai. “Untuk kasus cacingan pada ternak, fokus kita memang pada ternak ruminansia terutama sapi dan kambing, karena kedua hewan ini sangat rentan dan populasinya di Riau juga cukup tinggi,” jelas alumni Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada ini.

Lebih lanjut dikatakannya, pada peternakan rakyat dengan sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional yakni dengan membiarkan ternaknya mencari pakan sendiri meskipun pada lingkungan yang disinyalir telah terkontaminasi dengan cacing akan lebih memudahkan ternak terinfestasi cacing ketimbang sapi yang dipelihara dengan sentuhan pemeliharaan modern। Manifestasi klinik Fasioliasis tergantung dari jumlah metaserkaria yang termakan oleh penderita। Dalam jumlah besar metaserkaria menyebabkan kerusakan hati, obstruksi saluran empedu, kerusakan jaringan hati disertai fibrosis dan anemia। Frekuensi invasi metaserkaria sangat menentukan beratnya Fasioliasis. Kerusakan saluran empedu oleh migrasi metaserkaria menghambat migrasi cacing hati muda selanjutnya.








Sementara itu, sumber di Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau menyatakan bahwa rumput sebagai pakan utama ternak ruminansia tetap dianggap sebagai faktor predisposisi infestasi atau adanya parasit dalam tubuh ternak. Hal ini dikaitkan dengan siklus hidup cacing sebelum masuk ke dalam tubuh ternak.
Pada cacing hati misalnya, cacing dewasa hidup di dalam duktus biliferus dalam hati domba, sapi, babi dan kadang-kadang manusia। Dikatakan narasumber dari kalangan dokter hewan itu, bentuk tubuh cacing hati seperti daun dengan ukuran 30 x 2 - 12 mm dengan bentuk luarnya tertutup oleh kutikula yang resisten, merupakan modifikasi dari epidermis dan mulut disokong atau dibatasi। Kemudian, cacing dewasa bergerak dengan berkontraksinya otot-otot tubuh, memendek, memanjang dan membelok, mirasidium berenang dengan silianya dan serkaria dengan ekornya. Cacing ini merupakan entoparasit yang melekat pada dinding duktus biliferus atau pada epithelium intestinum atau pada endothelium venae dengan alat penghisapnya. Makanan diperoleh dari jaringan-jaringan, sekresi dan sari-sari makanan dalam intestinum hospes dalam bentuk cair, lendir atau darah. Di dalam tubuh, makanan dimetabolisir dengan cairan limfe, kemudian sisa-sisa metabolisme tersebut dikeluarkan melalui selenosit. Perbanyakan cacing ini melalui auto-fertilisasi yang berlangsung pada Trematoda bersifat entoparasit, namun ada juga yang secara fertilisasi silang melalui canalis laurer.











Lalu apa yang harus dilakukan peternak?

“Peternak harus proaktif menyikapi prilaku dan siklus hidup cacing tersebut,” jelas alumni Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta ini. Artinya, sebelum rumput diberikan kepada sapi atau ternak lainnya, rumput tersebut perlu diangin-anginkan terlebih dahulu, ini bertujuan agar Metaserkaria cacing tersebut mati.
Menurut Radiopoetro, suhu yang diperlukan mirasidium untuk dapat hidup adalah di atas 5-6 °C dengan suhu optimal 15-24 °C. Mirasidium harus masuk ke dalam tubuh siput dalam waktu 24-30 jam, bila tidak maka akan mati. Kemudian, telur dari jenis Fasciola gigantica menetas dalam waktu 17 hari, berkembang dalam tubuh siput selama 75-175 hari, hal ini tergantung pada suhu lingkungannya.

Terkait pemberantasan cacing ini, Drh Rondang Nayati MM kembali menegaskan bahwa tetap bermula dari kemauan peternak, artinya bila peternak menginginkan ternaknya tumbuh sehat maka peternak harus memperhatikan kaidah-kaidah beternak yang baik sesuai dengan anjuran yang disampaikan oleh petugas lapangan. ”Budaya hidup bersih juga dapat diterapkan seperti membersihkan lingkungan sekitar kandang, menghindari genangan air dengan cara membuat saluran air, membuang atau mengumpulkan kotoran sapi dan kotoran jenis ternak lainnya pada satu tempat, sehingga pada akhirnya, peternak meraup keuntungan bukan saja dari ternak yang dipelihara, namun keuntungan lain juga datang dari limbah ikutan seperti pupuk kandang,” pungkas mantan Kepala Laboratorium type B Dinas Peternakan Provinsi Riau ini.


Mengontrol Cacing pada Ternak: Drh Johan Purnama MSc dan Taufikurrahman Pua Note SPt dari SPFS (Special Programme For Food Security) FAO untuk Asia Indonesia dalam suatu kesempatan menyatakan, “Penggunaan obat anti parasit internal (cacing) dalam pemeliharaan sapi adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh peternak, karena infestasi cacing adalah suatu fenomena yang akan terus berulang secara periodik dalam siklus pemeliharaan.” Menurut sumber SPFS FAO untuk Asia Indonesia, beberapa tehnik sederhana dalam melakukan kontrol terhadap infestasi cacing pada ternak sapi dapat dilakukan dengan cara mengatur pemberian pakan dan mengatur waktu pemotongan rumput, suatu hal yang tentunya tidak dapat dilakukan bila sapi dibiarkan mencari pakan sendiri di padang rumput.

Diagnosa Tepat Bermanfaat:

Diagnosa yang tepat pada hewan yang sudah terserang penyakit cacing, akan memberikan jalan untuk pengobatan yang tepat pula. Untuk ketepatan diagnosa, narasumber Infovet menyatakan perhatikan gejala yang tampak pada ternak. Bila ternak tidak ada nafsu makan, katanya, maka periksalah dulu bagian mulut dan gigi. Periksa juga suhu (kalau tinggi, mungkin ada infeksi umum). Berikan antibiotika injeksi setiap hari selama 3 - 5 hari. “Bila bukan seperti gejala diatas setelah diperiksa, kemungkinan penyakit kronis. Hubungi dokter hewan,” katanya. Adapun bila nafsu makan ternak bagus, ada kemungkinan pakan mutunya kurang baik/ busuk/ berjamur.
Untuk itu narasumber Infovet menyatakan supaya peternak mengganti pakan. Gejala-gejala bila ternak itu cacingan antara lain: sapi kurus dan lemah, nafsu bisa kurang, kurang darah (anaemia), lendir berwarna pucat dan sering mencret. Selanjutnya salah satu metoda untuk melakukan diagnosa penyakit Cacing Hati (Fasciolasis) pada sapi dan kerbau, misalnya, adalah dengan menggunakan antigen Fasciola.

MATERIAL SAFETY DATA SHEET PARAMECTIN RV

MATERIAL SAFETY DATA SHEET

Product Name: PARAMECTIN POUR-ON FOR CATTLE
Issue Date: 31JAN08 QAF140 Page 1 of 3
STATEMENT OF HAZARDOUS NATURE
Hazardous according to criteria of NOHSC Australia

COMPANY DETAILS

Company: Jurox Pty Limited,
Address: 85 Gardiners Road, Rutherford NSW 2320
Telephone: (02) 4931 8200 or 1800 023 312
Emergency Telephone No.: (02) 4931 8200 or 1800 023 312

IDENTIFICATION

Product Name: Paramectin Pour-On for Cattle (5 g/L)
Other Names: Paramectin RV Pour-On for Cattle (10 g/L)
Manufacturer’s Product Code: Aus: 501740 (1L), 501745 (2.5L), 501750 (5L),
UN Number: None Allocated
Dangerous Goods Class: None Allocated
Subsidiary Risk: None Allocated
Hazchem Code: None Allocated
Poisons Schedule Number: S6
Use: A broad spectrum anthelmintic for the treatment and control of
internal and external parasites of cattle.

PHYSICAL PROPERTIES / DESCRIPTION

Appearance: Clear, colourless liquid with a mild odour
Boiling Point/Melting Point: Boiling point approx. 230OC
Vapour Pressure: <1kPa at 20OC
Specific Gravity: 0.93 – 0.98
Flashpoint: 110OC
Flammability Limits:
Solubility in Water: Miscible with water

OTHER PROPERTIES
INGREDIENTS

Chemical Entity CAS Number Proportion
Abamectin 71751-41-2 0.5% (Aus)
Glycolether >60%
Other ingredients known to be non hazardous <10%

HEALTH & HAZARD INFORMATION
HEALTH EFFECTS
Acute
Swallowed: Poisonous if swallowed
Eye: Will damage eyes.

MATERIAL SAFETY DATA SHEET

Product Name: PARAMECTIN POUR-ON FOR CATTLE
Issue Date: 31JAN08 QAF140 Page 2 of 3
Skin: Poisonous if absorbed by skin contact. May irritate the skin. Has a
degreasing action on the skin.
Inhaled: Poisonous if inhaled. May irritate the nose and throat.
Injected: Would not normally present an injection problem.
Chronic
First Aid If poisoning occurs, Contact a doctor or Poisons Information Centre
Ph: 13 11 26 (Aus).
Swallowed: If swallowed, seek medical advice. Show MSDS to a medical
practitioner.
Eye: Rinse well with water for at least 15 minutes. Seek medical advice.
Show this MSDS to a medical practitioner.
Skin: If skin contact occurs, remove contaminated clothing and wash skin
thoroughly with soap and water.
Injected: Remove to fresh air and seek medical advice.
Injected: Would not normally present an injection hazard.
First Aid Facilities:
Advice to Doctor Poisoning by abamectin may cause neurological symptoms.
Abamectin acts on specific synapses located within the brain, which
are protected by the blood/brain barrier. In mammals, this is
penetrated at only very high concentrations. Treat symptomatically.

MATERIAL SAFETY DATA SHEET

Product Name: PARAMECTIN POUR-ON FOR CATTLE
Issue Date: 31JAN08 QAF140 Page 3 of 3

PRECAUTIONS FOR USE

Exposure Standards: Recommended use patterns for this product should not result in
atmospheric contamination.
Engineering Control: Recommended use patterns for this product should not result in
atmospheric contamination.
Personal Protection: Avoid contact with eyes and skin. Do not inhale vapour. Wear cotton
overalls buttoned to the neck and wrist, washable hat, elbow-length
PVC gloves and goggles. Before eating, drinking or smoking, wash
hands, arms and face thoroughly with soap and water. After each
day’s use, wash gloves, goggles and contaminated clothing.
Flammability: Not flammable. Combustible

SAFE HANDLING INFORMATION

Storage: Store away from direct sunlight at less the 30OC (room temperature).
Keep out of reach of children.
Transport: Not classified as a Dangerous Good for the purposes of road or rail
transport.
Spills: Soak spills into porous material (sand, soil, vermiculite), place in
sealed containers and dispose of in an approved landfill. When
abamectin comes into contact with soil, it readily and tightly binds to
the soil and becomes inactive over time.
Disposal: Triple or (preferably) pressure rinse emptied containers. Do not
dispose of undiluted chemicals on site. If recycling, replace cap and
return clean container to point of supply. If not recycling, break, crush
or puncture and bury empty containers in local authority landfill. If not
available, bury the containers below 500mm in a disposal pit
specifically marked and set up for this purpose clear of waterways,
vegetation and roots. Empty containers and product should not be
burnt. Highly toxic to fish and aquatic invertebrates. Do not
contaminate streams, rivers or waterways with chemical or used
container.
Fire/Explosion Hazard: Combustible. Keep containers cool with water spray. Extinguishing
media: water spray, foam, carbon dioxide, dry chemical powder, BCF.

OTHER INFORMATION

Abamectin LD50 (oral, rats) : 11mg/kg bodyweight
LD50 (oral, mouse) : 14->80mg/kg bodyweight
LD50 (dermal – rats, rabbits) : >330mg/kg bodyweight
Contact Point Aus: Technical Services Manager (02) 4931 8200
This information is based on data believed by Jurox Pty Ltd to be accurate at the time of writing but is subject to change without notice. It is given in good faith, but no warranty
expressed or implied is made as to its accuracy, completeness otherwise and no assumption of liability from howsoever arising is made by Jurox Pty Ltd by reason of the provision of
this information. Every person dealing with the materials referred to herein does so at his/her own risk absolutely and must make independent determinations of suitability and
completeness of information from all sources to ensure their proper use

DOSIS DAN CARA PEMAKAIAN PARAMECTIN RV

Dosis dan cara pemberian yang mudah yaitu dengan Topikal diteteskan di kulit punggung dari pangkal leher sampai pangkal ekor sapi dengan dosis 1 cc/ 20kg BB sapi.

PARAMECTIN RV

Nama Terdaftar
Paramectin RC Pour-On untuk Sapi

Schedule
Poison-S6

Kandungan Zat Aktif
Abamection 10 mg/mL

Khasiat
Paramectin-RV Pour-On mengandung abamection, merupakan senyawa anggota dari famili avermectin yang memiliki sifat khusus, yaitu tidak bereaksi dengan produk lain yang digunakan untuk mengendalikan parasit pada sapi di Indonesia. Abaction memberikan spektrum kesembuhan yang luas terhadap parasit internal dan eksternal. Sebagaimana tertera di bawah.Paramectin-RC Pour-On tidak memerlukan peralatan untuk drenching, dipping dan spraying yang biasa digunakan pada masa lalu.

Apabila menggunakan sesuai dengan petunjuk yang tercantum pada label, Paramection Pour-On ramah lingkungan atau berefek kuat terhadap populasi serangga kotoran (dung beetles), seperti Onthophagus australis, O. Granulatus, O. Dandalu, O. Chepara, Onitis alexis, Euoniticellus intermedus, E. Africanus dan Aposius spp. Meningkatkan mortalitas dan menghalangi pertumbuhan larva, tetapi hanya dalam jangka waktu yang terbatas setelah pengobatan.

Indikasi
Paramectin-RC Pour-On efektif mengendalikan parasit pada sapi sebagai berikut :

Cacing Gelang Gastro-intestinal/Gastro intestinal Roundworms dewasa dan larva stadium IV.

* Ostertagia ostertagia
* Ostertagia lyrata
* Haemonchus placei
* Trichostrongylus axei
* Trichostrongylus colubriformis
* Cooperia spp
* Bunostomum phlebotomum
* Oesophagostomum radiatum
* Nematodirus spathiger
* Strongyloides papillosus


Cacing Paru-paru/Lungworms.

* Dictycauculus viviparus - dewasa dan larva


Kutu/Sucking lice & Bitting Lice.

* Linogathus vituli
* Haematopinus eurysternus
* Solenopotes capillatus
* Bovicola bovis


Mengendalikan terhadap infeksi

* Ostertagia ostertagia
yang dipelorel sampai 14 haru setelah pengobatan
* Dictyocaulus viviparus
yang diperoleh sampai 28 hari setelah pengobatan


Mengendalikan terhadap infeksi Caplak Sapi

* Boophilus microplus


Mengendalikan Lalat Kandang

* Haematoboa irritans exigua
melindungi sapi dari infeksi ulang yang diperoleh setelah 14 hari pengobatan
* Tidak memberikan perlindungan penuh terhadap kutu (Cattle Bitting) Damalinia bovis.
* Tidak direkomendasikan untuk pengobatan dengan cara berendam (dipping)


Informasi Keamanan
Bersifat racun apabia terkena kulit atau tertelan. Dapat mencedarai mata, mengiritasi hidung, tenggorokan dan kulit. Hindari mengenai kulit dan mata, Jangan di hirup. Pada saat menggunakan PARAMECTIN-RV pakailah baju kerja lapangan/overalls yang menutupi leher sampai dengan lengan dan pakai topi yang dapat dicuci, pakai sarung tangan sampai siku dan kacamata. Jika pakaian terkontaminasi PARAMECTIN-RV kulit segera dilepas. JIka mengkontaminasi kulit segera cuci dengan air. Setelah menggunakan PARAMECTIN-RV cucilah tangan, lengan, kacamata dan pakaian yang terkontaminasi segera dicuci setiap setelah menggunakan PARAMECTIN-RV.

Pertolongan Pertama
Jika terjadi keracunan segera bawa ke dokter, jika kulit terkontaminasi lepas pakaian dan kulit cuci bersih.

Dosis dan Cara Pemberian

* Jangka waktu pengobatan ulang yang diperkenankan minimum 35 hari.
* Timbanglah hewan sebelum menentukan dosis, untuk menjamin ketepatan kisaran dosis yang digunakan.
* Jangan menggunakan dibawah dosis.


Waktu henti obat

* Hewan tidak boleh dipotong untuk dikonsumsi dagingnya dalam waktu 35 hari sejak tanggal pengobatan terakhir.
* Hewan yang diekspor tidak boleh dipotong untuk dikonsumso dagingnya dalam waktu 42 hari.
* Susu tidak ada waktu henti obat, dapat langsung dikonsumsi setelah pengobatan.


Kemasan: 1 Liter dan 10 Liter.

Penyimpanan
Simpan pada suhu dibawah 35 derajat C (temperatur kamar).Simpan dalam wadah asli.