Rabu, 17 Maret 2010

Sejarah Pemasaran Susu

SEJARAH PEMASARAN SUSU

Sunday, February 21, 2010
By Rochadi Tawaf
 
Usaha peternakan sapi perah di Indonesia, pada awalnya hanya berupa usaha rumah tangga, banyak diantaranya merupakan penerusan kerja dari ara pekerja di perusahaan sapi perah milik Belanda.
  • Pada tahun 1949, berdiri koperasi susu pertama di Indonesia, yaitu Gabungan Petani Peternak Sapi Perah Pengalengan (GAPPSIP) yang diprakarsai oleh drh. Soejono dan drh Y. Hutabarat.
  • Tahun 1962, berdiri koperasi peternak bernama SAE Pujon di Malang yang digerakkan oleh drh Memet Adinata.
  • Tahun 1963GAPPSIP terpaksa tutup karena buruknya situasi sosial ekonomi dan politik saat itu.
  • Baru pada tahun 1969, di tempat yang sama kembali berdiri koperasi susu dengan nama Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS). Lagi, pendirian koperasi ini juga diprakarsai oleh seorang dokter hewan, yaitu drh Daman Danuwijaya.
  • Sampai dengan tahun 1978, di Propinsi Jawa Timur terdapat beberapa koperasi susu selain SAE Pujon, yaitu KUD Batu, Koperasi Setia Kawan di Nongkojajar dan Koperasi Suka Makmur di Grati.
 
Namun demikian, produksi susu nasional antara tahun 1969-1978 berkembang dengan sangat lambat, dari total 28.900 ton hanya naik menjadi 62.300 ton (Bagdja, 2005; Sunaryo,2004). Perjalanan koperasi persusuan di Indonesia jatuh dan bangun dihantam berbagai permasalahan, khususnya terkait dengan masalah pemasaran susu kepada industri pengolah susu (IPS).
Koperasi susu memiliki posisi rebut tawar yang sangat lemah berhadapan dengan IPS, baik dalam menentukan jumlah penjualan susu, waktu penjualan serta harga yang diperoleh. Masalah ini muncul dikarenakan IPS menggunakan susu impor sebagai bahan baku dan tidak mau menyerap susu domestik. Peternak yang telah berhasil diarahkan untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri menjadi kecewa karena banyak susu yang rusak dan harus dibuang.
Titik balik perkembangan koperasi susu di Indonesia dimulai pada tahun 1978, berkat peranan dari Bustanul Arifin yang ditugaskan melihat koperasi persususan di India, sehingga terbentuk Badan Koordinasi Koperasi Susu Indonesia (BKKSI) yang merupakan cikal bakal GKSI yang dibentuk setahun berikutnya.
 
Dengan kelembagaan koperasi persusuan di level nasional, komunikasi antara gerakan koperasi persusuan dengan pemerintah berjalan lebih baik sehingga memungkinkan berperannya subsistem penunjang agribisnis susu di Indonesia. Beberapa permasalahan yang dihadapi koperasi susu sedikit demi sedikit dapat diatasi dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan pemerintah, seperti halnya penetapan kuota impor susu oleh IPS, pengawasan pemerintah terhadap harga susu, penyediaan pakan ternak serta impor sapi perah berkualitas.
Baiknya komunikasi GKSI dengan pemerintah ini dipertegas dengan terbentuknya Tim Koordinasi Persusuan Nasional (TKPN) yang melibatkan tujuh instansi pemerintah. TKPN bertugas memantau perkembangan produksi dan konsumsi susu di Indonesia Direktur Jenderal Peternakan yang saat itu dipegang oleh orang gerakan koperasi (Daman Danuwidjaja) secara Ex-officio ditunjuk menjadi ketua TKPN. Posisi ini semakin memungkinkan gerakan koperasi dalam melakukan terobosan yang bersifat lintas sektoral dalam pengembangan agribisnis susu nasional berbasis koperasi.
 
Kebijakan BUSEP (bukti serap) yang mewajibkan IPS untuk menyerap susu dari koperasi. Dengan kebijakan ini ratio penyerapan susu domestik dapat diperjuangkan menjadi 1:3,5 (19 % serapan susu DN) pada tahun 1984 dari perbandingan 1:20 (< 5% serapan susu DN) pada tahun 1979.
Dengan pendekatan yang baik terhadap IPS, harga susu di tingkat peternak dinaikan menyesuaikan tingkat kebutuhan biaya hidup peternak saat itu. Sampai th 2007, kontribusi susu DN hanya mencapai 25 % dengan produksi susu sekitar 1,2 juta liter per hari (USDA – FAS, 2007), terutama setelah dicabutnya konsep BUSEP pada th 2000 awal. Itu berarti sejak kenaikkan cepat pada periode 1979-1984, maka kondisi sekarang dapat dikatakan stagnan terus menerus.
Globalisasi yang tidak diiringi kebijakan yang tepat semakin menekan pertumbuhan industry susu rakyat. Salah satu kebijakan tak berfihak pemerintah adalah ditetapkannya tariff cukai rendah untuk produk olahan susu seperti susu fermentasi yoghurt, sampai 0 % lebih rendah dari tariff cukai masuk susu bubuk sebagai bahan baku indutri persusuan sebesar 5 %. Tarif 5 % ini sendiri dinilai tidak sesuai kesempatan yang diberikan oleh WTO (table   ) 210%, sehingga industry olahan susu tidak bergairah untuk berkembang menjadi lokomotif kemajuan peningkatan produksi susu nasional


Sumber : Dunia sapi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar